Do Your Aims Good?

Deivine Signor

 

Tanggal 12 April 2007, saya terpana akan sebuah gambar di headline The Jakarta Post. Gambar itu mengungkapkan banyak kisah yang menjadi salah satu gerbong gerakan tak berbedah dari sebuah elemen.

                                                             x1.jpg

Sebuah kisah yang mengungkap sekian ketidakbenaran menurut kisah dan pandangan mereka. Ini kisah tentang sebuah elemen kecil bukan seluruh dari strata yang bersangkutan. Kebenaran yang selalu diagungkan mengibas kebenaran yang menurut mereka salah. Kebenaran yang melindas ketidaksesuaian dan membenamkannya dalam ketidakberdayaan dan kebungkaman. Alih-alih membela kebenaran yang diagungkan itu, mereka berkubang dalam ketidakbenarannya sendiri. Masuk dalam lahat ketiadaan belas-kasih.

Di belahan inilah akhirnya secara tidak sadar menggemburkan pemuliaan terhadap kekerasan [glorifying violence]. Sangat sederhana dan sangat tersembunyi. Saat siapapun dengan begitu gencar menganggap diri yang paling benar dan yang lain salah di sana terlahir topeng ”kemaksiatan” itu.

Maka, lihatlah ketidakbenaran itu justru akan terlahir dalam tindakan kita sendiri. Bukan di luar diri kita. Kehancuran yang paling utama dan terutama itu selalu berawal dari tindakan kita sendiri. Persoalannya, kita tidak pernah mengetahui kalau diri kita sendiri yang menjadi sumber dari konflik. Kenapa? Karena jiwa konspirasi telah menyatu erat dengan diri kita. Sehingga kambing-hitam itu selalu – dianggap – dari orang lain.

Ironisnya, kita berdiri di atas sebuah nama, entah itu nama agama atau nama kelompok. Kita mengagungkan sebuah nama dalam tindakan-tindakan kita. Mungkin karena kita begitu mencintai nama itu. Lagi-lagi, ini tentang sebuah elemen kecil dan bukan seluruh dari stara yang terkait. Keterkaitan kita dengan sebuah nama, pastinya pun nama yang besar itu akan terbawa-bawa. Sehingga, tatkala sebuah elemen – rasa-rasanya – telah mencoreng muka mereka sendiri, tentunya nama yang ada di belakang mereka pun akan disebut-sebut. Itu sangat wajar sekali. Namun, jangan juga kita terjebak dalam generalisasi. Sebab generalisasi berarti menghapuskan banyak hal yang seharusnya kita perhitungkan [mungkin sebagai kebenaran]. Hanya yang semakin kita tidak mengerti bagaimana sebuah nilai bisa berubah wujud menjadi begitu sangar dan tidak berhati. Bagaimana sebuah kanibalisme animalis membelit kehidupan harian segelintir orang sehingga nilai manusiawi seakan dikencingi di tengah-tengah yang menamakan diri manusia. Berpendidikan lagi. Pernah suatu saat, saya bertanya pada diri saya sendiri, berhubungan dengan sekian banyak konflik yang sedang meraup wajah insani manusia. ”Mungkinkah kita lebih menyayangi binatang peliharaan kita daripada sesama manusia?” ataukah ”telah menjadi sebuah kemungkinan bahwa nilai diri sebagai manusia lebih rendah dari keberadaan infrahuman?”

Manusia atau Agama?

Fenomena yang sedang menyayat kehidupan dewasa ini bahwa manusia rela dikurbankan, dicabik-cabik demi sebuah agama. Padahal manakah yang lebih bernilai, manusia atau agama? Manusia itu diciptakan langsung oleh Tuhan lebih tinggi dari ciptaan manapun. Manusia itu pun hampir sekisah dengan alam raya karena diciptakan pada kesetaraan awal segala sesuatu. Sedangkan agama diciptakan oleh manusia sekian abad setelah penciptaan itu. Fenomena yang selalu terjadi adalah manusia lebih mengagungkan ciptaannya ini daripada ciptaan Sang Khalik, yaitu manusia. Seakan manusia menjadi tuhan atas semesta dan melupakan pencipta yang lebih tinggi dari semuanya. Sehingga kebenaran dan pikiran Tuhan dianggap termanifestasi hanya pada manusia atau lebih tepatnya pada orang-orang tertentu.

Sehingga yang terjadi sudah menjadi jelas. Manusia yang sesungguhnya hanya angin belaka berani menghakimi sesamanya. Padahal, apa yang mereka katakan sebagai kebenaran dan atas nama Allah belum tentu sama dengan yang dikehendaki Allah. Rancanganmu bukanlah rancanganKu. Tetapi pertanyaannya, ”kenapa Tuhan membiarkan itu terjadi?” Satu jawaban yang sederhana yaitu untuk mengembalikan hati Tuhan yang telah tercerabut dari jiwa manusia. Sejauh mana mereka menemukan itu kembali. Lihatlah, Allah sungguh berbaik hati memberi kesempatan dan kebebasan kepada manusia. Bayangkan saja jika anda hidup dalam bayang-bayang Stelin yang penuh dengan kontrol. Anda berbuat salah langsung dihukum tiada ampun.

Saya teringat tentang kisah tragis anak manusia yang dihadapkan pada pemerintahan Romawi di abad-abad awal tahun masehi. Di saat hidup akan ditentukan di atas dupa penderitaan, Sang Pontius bertanya: ”Apakah kebenaran itu?” Jika pemimpin Romawi yang telah menguasai setengah dari belahan bumi ini bertanya tentang kebenaran, apalagi kita yang masih terjebak dalam ketertutupan dan mungkin juga kepicikan? Namun, seakan kita telah menemukan dan mengerti apa itu kebenaran?

Siapakah yang bisa mengatakan bahwa dalam agama semua kebenaran akan ternyatakan? Dan tidak ada wadah lain selain itu? Apalagi dalam sebuah kelompok kecil yang mempunyai interese tersendiri. Benar bahwa agama telah menjadi sebuah puncak piramida kehidupan manusia. Masuk dalam bilangan perhitungan hari-hari manusia. Namun, kerap dikorupkan oleh hasrat yang tak terjamah dari manusia. Agama, dalam sudut pandang yang baru, hanyalah salah satu bagian kehidupan manusia, yang seharusnya tidak meraup dan menekan yang lain. Tentunya dalam hal ini yang berperan adalah orang-orang yang ada dalam konstitusi agama itu. Agama merupakan sebuah ruang kosong yang diisi dengan sejuta nilai. Mungkin bisa diibaratkan dengan kerangka mobil yang belum diisi dengan sekian banyak sparepart. Sparepart yang akan kita masukkan akan mempengaruhi kualitas dari mobil tersebut. Salah memasukkan bagian-bagiannya, kenyataan akan berbicara, mobil itu akan merusak kehidupan anda. Persis itu terjadi dalam agama. Kesalahan memadukan nilai-nilai yang ada di dalamnya akan berakibat fatal bagi konstelasi kehidupan manusia. Kenapa? Karena pada akhirnya nilai-nilai itulah yang hidup dalam keseharian kita.

Apa yang salah?

Pertanyaan ini pastinya akan membawa kita pada sebuah labirin yang terus menelanjangi kesalahan yang ada. Ibarat mana duluan ayam atau telur? Manusia atau agama yang melahirkan konflik? Lihat, agama itu ada setelah adanya manusia. Artinya, agama itu dibuat oleh manusia dengan segala nilai yang ada di dalamnya. Dalam artian yang lain, agama pun bisa dikorupkan oleh manusia sesuai dengan keinginannya. Kita percaya bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam agama itu tidak ada yang salah. Kemiringan nilai-nilai itu dikarenakan oleh yang berkepentingan membawanya ke suatu tujuan. Misalkan, anda memiliki keinginan untuk menghasut orang lain demi kepentingan anda sendiri dengan menggunakan atribut agama. Maka, nilai yang terkandung dalam agama akan melesat kemana-mana. Lalu yang salah itu terletak di mana? Kesalahan itu ada pada pemahaman manusia tentang nilai-nilai tersebut. Jelas di sini melahirkan dua strata yang berbeda. Pertama, orang –orang yang mengetahui dengan benar nilai-nilai itu secara intelektual. Kedua, orang-orang yang hanya ikut-ikutan mengerti tentang nilai-nilai itu. Strata kedua inilah yang rentan terhadap pancingan dan provokasi akan lahirnya sebuah konflik. Lihat saja, siapa yang selalu berhamburan – sebagian besar – jika terjadi demonstrasi? Mereka adalah orang-orang yang dengan mudah dipanas-panasin oleh orang yang mengenal sesuatu jauh daripada mereka. Apalagi, jika mereka ini telah mendapat imbalan yang cukup untuk ikut dalam sebuah gerakan.

Berhubungan dengan hal itu, massalisasi merupakan sebuah bom waktu yang selalu menghancurkan dan mengayau ketenangan. Dalam setiap gerakan, kelompok massal merupakan sebuah spirit yang mewabah sedemikian akut. Lihat saja kelompok-kelompok yang bergerak dengan kemampuan massalnya. Mereka menggasak bagai kena luka yang membusuk dan gatal. No tolerance no waiting.

Di samping semua hal itu, ada banyak orang yang suka kedamaian. Ada banyak orang yang menentang kebengisan, kemunafikan, dan kekerasan. Titik paling rawan terletak pada mindset dan pengetahuan. Pengetahuan memberi kerangka pada cara berpikir. Dan kemudian, terinternalisasi dalam tutur dan laku. Sehingga orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan yang baik akan berefek pada cara berpikirnya.

The Journey of Solving

Apa yang harus kita lakukan agar sebuah nilai yang luhur tidak menjadi buruk. Dalam sebuah bedah buku, Menalar Tuhan, karya Frans Magnis Suseno di Universitas Maranata beberapa waktu yang lalu, terbersit sesuatu yang sangat menarik. Banyak orang berbicara sesuatu yang sangat bagus. Menalar segala hal dan memnungkinkan segala sesuatu. Tentunya itu terjadi di kalangan intelektualis. Namun, lihatlah yang menjadi ”titik miring” nya dari segala hal yang baik itu adalah orang-orang yang berada di lapisan bawah. Mereka dengan mudah digerakkan oleh ambisi. Pastinya di sana terkait dengan kepentingan orang-orang yang menggerakkan.

Tentunya akan membutuhkan perjalanan panjang untuk menyelesaikan hal ini. Membuka ruang diskusi antar kelompok yang berbeda kepentingan adalah jalan yang telah menjadi sangat purba. Tetapi lihat apa hal yang selalu terjadi? Mungkin kita harus mencari jalan yang lain. Pertanyaannya adalah kenapa dan apa yang menyebabkan rantai ”ambisi” atau ketidak-tolerannya suatu kelompok? Ada orang yang mengatakan seseorang menjadi begitu sangat reaktif karena masalah identitas atau juga tidak adanya kenyamanan dalam hidup. Sehingga, yang terjadi sebenarnya ”mereka” berusaha memasuki titik yang hilang ini. Dan di sanalah awal keributan yang selalu terjadi. Mereka tidak mengetahui cara untuk mendapatkannya. Di sisi yang lain, kerap yang memicu kekerasan itu adalah ketiadaan sisi afeksi yang mengikat semuanya itu. Tidak ada yang bisa diimajinasikan selain ”harus” mendapatkan yang hilang itu. Dan hal ini sangat berhubungan dengan simbol yang bisa menghubungkan semua ini. Kehilangan atau ketiadaan simbol yang menghubungkan semua hal atau hal yang kita hadapi yang terjadi adalah kita kering dan tanpa ekspresi. Misalkan saja, seseorang yang ingin mengungkapkan rasa sayangnya kepada orang lain tapi tidak tahu harus bagaimana. Dan jika ia tidak menemukan cara untuk itu, ia akan bergejolak dalam dirinya. Dan setelah ini terjadi, ia akan mengambil suatu sikap. Jika ia masuk dalam sikap yang salah hasilnya pun akan salah.

Identitas erat sekali dengan penghargaan dan diterimanya seseorang. Identitas ini selalu menjadi bumerang jika kenyamanan selalu dipertaruhkan. Maka, pertama-tama yang harus kita masuki adalah rasa nyaman. Rasa nyaman ini dapat ditemukan bukan karena anda sudah mendapatkan uang atau rumah. Tetapi lebih pada ”kepenuhan hati” akan kebahagiaan. Ada sebuah kisah tentang seorang lansia yang sudah berumur 92 tahun yang telah menjadi duda beberapa tahun yang lalu. Karena hanya seorang diri, ia pun rela masuk ke sebuah panti jompo. Ketika ia sedang menunggu di ruang tamu rumah barunya itu, seseorang berkata kepadanya: ”Bapak, mari kita melihat kamar untuk bapak”. Orang tua itu langsung menjawabnya: ”Aku sungguh sangat senang dengan kamar itu”. Orang itu heran dan bertanya: ”bagaimana bapak berkata senang bahkan kamar itu sendiri belum bapak lihat?” Orang tua itu menjawab: ”Anak muda, saya telah memutuskan untuk senang dengan kamar baru saya. Tidak menjadi masalah apapun yang ada dalam kamar itu. Sebab, yang lebih utama adalah berkata pada diri saya, bahwa saya akan merasakan kebahagiaan”. Orang tua ini telah mengisi hidupnya dengan sesuatu yang tidak bisa diambil dari padanya. Memusatkan dan memasukkan dirinya terhadap sebuah kenyamanan lebih awal dari kenyataan yang akan dihadapinya. Pernahkah anda berbuat begitu?

Kenyamanan bukan datang dari luar namun meluap dari kedalaman jiwa. Masukkanlah yang berharga dalam diri anda dan anda akan menemukan sekian banyak hal yang berharga di sana. Tetapi jika anda memasukan hal yang tidak menyenangkan di sana anda akan menemukan hal yang tidak menyenangkan juga. Yang kita lakukan justru menyimpan yang jelek dan menginginkan yang baik. Bagaimana bisa?

Kenyamanan ini akan membawa ketenangan dan bukan ketegangan. Dari sana kita dapat berfokus untuk melakukan dan mengatakan sesuatu. Saat anda memasuki wilayah ini, lihatlah siapa diri anda? Anda akan mengatakan dan menceritakan siapa anda dalam keadaan tenang. Identitas yang sebenarnya adalah saat anda berkata: ”ini adalah aku. Aku menjadi seperti ini karena orang-orang yang mendukung aku”. Anda mengenal siapa anda dan orang-orang lain yang ada di sekitar anda. Bagaimana dengan anda?

Leave a comment