Kenyataan, Batas dan Ambivalensi

Kenyataan, Batas dan Ambivalensi

By Deivine Signor

Pengantar

Sepanjang ruang kehidupan, kita berhadapan dengan begitu banyak kenyataan. Kenyataan-kenyataan ini akan membawa kita pada suatu pemahaman arti adanya sesuatu, penerimaan atau penolakkan [afirmasi atau negasi], mengejar suatu komimen, dan banyak kenyataan yang lain. Hal ini akan memungkinkan kita “menyayat/membelah” batas-batas dan menjadikannya sebuah ruang. Batas-batas itu seperti kelemahan, keraguan bahkan mempertanyakan sebuah kenyataan dan kepastian. Namun, kita harus hati-hati. Alih-alih kita mencoba menyasar sebuah makna dari sesuatu atau kepastian dari sesuatu, ada kemungkinan kita akan masuk dalam ambivalensi yang hampa.

Kenyataan dalam Pengalaman

Suatu saat, ada seseorang yang yang terluka dan dia menjerit bahkan berteriak kesakitan. Pertanyaannya, where is the real one? Jeritannya akan rasa sakit atau rasa sakit itu sendiri pada bagian yang terluka? Anda memilih yang mana? Jika anda memilih dua-duanya dengan alasan adanya korelasi antara teriakan rasa sakit dan luka itu sendiri. Anda harus berpikir dengan lebih cerdas karena kita berbicara tentang kenyataan [the nucleus of the real thing]. Kenyataan tersimpan dalam ada-nya sesuatu dan bukan pada pernyataannya. Pernyataan hanyalah konfigurasi atau pelabelan/pemadatan sesuatu dalam sebuah ungkapan [kata] terhadap sesuatu yang sungguh real. Hal ini terjadi dengan tujuan agar sesuatu mudah dipahami dan dibahasakan. Seperti analogi di atas, teriakan rasa sakit hanyalah pencabutan sesuatu yang real pada penyusunan bunyi dengan menderetkan sejumlah huruf. Kenyataan yang sesungguhnya terletak pada bagian yang menjadi sumber terikan itu. Dan ketika kita berusaha menjelaskan kembali kenyataan itu [the real thing] kita akan sekaligus masuk dalam penjelasan bagian-bagian dari kenyataan dan tidak seluruhnya. Mungkin kita akan berusaha membandingkannya dengan banyak hal dengan tujuan untuk membedah the real thing dan memperoleh kepastian. Dan kita akan berkata ini yang benar. Namun demikian, bahasa yang terbatas dan mungkin wawasan dan intelektualitas yang ”hanya” seperti yang kita miliki akan membimbing kita pada labirin yang tidak pernah berakhir. Memang jelas akan menimbulkan banyak insight baru dengan ruang pandang yang semakin luas.

Namun, kenyataan diam dalam dirinya sendiri. Yang terkuak hanyalah konfigurasi kecerdasan kita atas views terhadap kenyataan-kenyataan. Hal ini melingkupi semua aspek. Teknologi, sosial, budaya dengan segala rambu-rambu penelitiannya dan lain-lain. Ketika kita ”merakit” sesuatu misalnya kita sekaligus mencerabut sesuatu dari dirinya berdasarkan kecerdasan kita. Dan ketika yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan kemungkinan besar ungkapan ”ini telah menjadi kenyataan” akan kita katakan. Namun, pertanyaannya bukankah kenyataan yang kita miliki hanyalah bagian dari kenyataan yang sesungguhnya. Bahkan dapat dikatakan, hanyalah perwujudan dari sesuatu yang sesuai dengan intelektualitas dan kebutuhan kita. Kita tidak perlu muluk-muluk masuk dalam ideologi platonis. Mari kita melihat sesuatu. Jika kita berramai-ramai memperhatikan sebuah pohon yang tinggi dan masing-masing dari kita mencoba menjelaskan tentang pohon itu. Dan kita puas dengannya. Tetapi mengapa masih banyak kemungkinan dalam kurun waktu yang mungkin berbeda untuk menjelaskan tentang pohon itu. Hal ini membuktikan bahwa kenyataan yang kita dilihat dan penjelasan yang kita berikan bukan semua dari/tentang kenyataan itu. Hanya sebagian sehingga ada banyak kemungkinan untuk dapat menjelaskan sesuatu dalam waktu yang sama maupun berbeda. Atau justru kita tidak akan pernah menyentuh the nucleus of the real thing-nya. Apalagi jika hal ini telah dibungkus oleh kepentingan tersendiri yang selalu tersembunyi atau kelihatan kemudian. Sebab kepentingan ini cenderung mengabaikan banyak hak yang tidak sesuai dengan kebutuhan walau telah terkuak.

Batas: Ruang Bicara

Analogi di atas telah memaparkan adanya batas-batas dalam menguraikan sesuatu. Kelemahan, kekurangan, bahkan keraguan membuktikan akan adanya sesuatu yang masih belum seutuhnya terungkap. Keadaan ini mungkin bukan dikarenakan keterbatasan bahasa maupun daya nalar yang kita miliki. Tetapi lebih daripada itu terletak pada sekat atau ruang bicara numerik yang berurutan menuju sesuatu. Ruang bicara numerik itu ibarat kita memasuki rumah orang lain atau berbicara dengan diri orang lain. Di sana, kita memiliki tata santun, keramahan, dan keakraban dan mungkin banyak hal lain yang perlu diperhatikan. Kemudian dari sekian alur dan rentang waktu kita akan masuk dalam mengetahui siapa orang lain. Kita kembali pada satu hal yang penting bahwa di setiap ruang itu kita memiliki batas-batas pembicaraan. Namun, batas itu sekaligus sebagai ruang bicara yang hendaknya semakin diperluas. Sebab jika berhenti pada satu level saja kenyataan yang terungkap pun hanya sebagian saja.

Batas sebagai ruang bicara menuturkan dan membongkar banyak hal. Bukan justru menyembunyikan dan menutupinya. Di sana, kelemahan, kekurangan bahkan keraguan selalu menjadi titik balik untuk mengulas sesuatu menjadi lebih tajam. Ketajaman bukan semata-mata mengasah titik akhir menjadi jelas namun memunculkan anima universal yang setiap saat tersingkap. Mungkin bahkan yang tidak kita inginkan. Sebab dari ketersingkapan itu ruang bicara ini semakin meluas dan menempatkan banyak orang dalam ruang yang sama.

Tatkala batas menjadi ruang bicara, jejaring kenyataan akan semakin tampak. Ibarat kita melemparkan beberapa batu kecil di permukaan air yang tenang. Setiap batu [topik/fokus] membentuk batas lingkaran tersendiri. Namun, lama-kelamaan batas-batas itu akan terkait satu sama lain membentuk sebuah jaringan yang mungkin saling mengungkap. Masing-masing memiliki batas namun sekaligus batas itu menjadi pengait perluasan wacana pada kenyataan-kenyataan.

Ambivalensi: Sisi yang Membuka

Dalam the Art of Success Mastery sebuah buku karya Gede Prama salah satunya membedah tentang mind yang selalu bergerak pada pembedaan: afirmasi dan negasi. Pikiran mungkin hanya sebongkah elemen yang menunjang the dancing of the human life. Namun, pikiran memberi warna yang sungguh luas dalam jaringan yang terus-menerus berusaha terfokus, “menyayat” dan menyentuh spot secara langsung. Sekaligus pikiran membedah dan membedakan banyak hal. Afirmasi dan negasi, semacam pro dan kontra membuncah pada menggelindingnya sesuatu pada dua jalur yang berbeda. Keduanya mencari kemungkinan yang jelas. Inilah yang disebut dengan satu sisi yang membuka. Satu hal dapat menimbulkan pro dan kontra atau afirmasi dan negasi. Kedua-duanya bisa benar namun juga bisa membingungkan bahkan saling menegasi [buat orang-orang tertentu]. Di sini terletak titik ambivalensi.

Ambivalensi ini dapat terjadi dalam banyak hal sejauh melahirkan sebuah kebingungan dan keraguan atau pro dan kontra [afirmasi dan negasi]. Dua sisi, masing-masing bisa saling menguat dengan “memuntahkan” berbagai alasan yang logis. Pada tingkat permukaan ibarat puncak-puncak gelombang air yang saling mendahului. Namun mengandung sebuah harmonisasi yang serasi. Pada sisi yang lain kita harus berhati-hati jangan terjebak dalam autisme sehingga tanpa sadar kita membentuk space tersendiri yang hanya kita sendiri yang bermain di sana. Jika hal ini menjadi tidak terkendali, ada kemungkinan sikap ini menjadi sebuah kegilaan yang absurd. Tentunya semua itu tanpa kita sadari dan mungkin sudah berjalan sekian lama sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Maka, mungkin kita akan berkata ”itu lumrah, sudah biasa”. Kegilaan yang absurd adalah pergolakkan pikiran dan sikap yang menurutnya begitu dahsyat, paling benar namun tidak pernah mencapai solusi akhir bahkan mungkin tidak dimengerti oleh orang lain.

Bagaimanapun, ambivalensi merupakan fenomena sisi yang membuka. Membuka pada banyak kemungkinan solusi yang diharapkan. Ambivalensi bukanlah sekedar kebingungan atau keraguan terhadap suatu hal. Namun, merupakan sebuah dinamika optimisme akan suatu hal. Dinamika optimisme merupakan proses mendayagunakan aspek-aspek kendati kelihatan dan cenderung berbeda. Dengan meletakkan pemahaman ambivalensi [ambiguitas] pada dinamika optimisme, kenyataan dan batas-batas [kelemahan, kekurangan] sama-sama membuka diri pada penerimaan what the real thing tells us bukan melulu pada what we tell about the real thing. Sehingga kita tidak masuk dalam kehampaan yang tidak jelas.

Titik Sentuh yang Mengubah

Kenyataan, batas dan ambivalensi menempatkan pemahaman baru pada titik yang terus sinergis. Penjelasan ini secara sederhana membuka cara berpikir dengan ”merangkul” berbagai pintu penjelasan dan kemungkinan. Pemahaman baru akan kenyataan, batas dan ambivalensi mampu menghantar kita pada wacana yang selalu bisa diperdebatkan. Sekaligus mampu mengait semua informasi yang tersebar. Dengan demikian, kenyataan, batas dan ambivalensi merupakan jalan menuju [the way through] dan bukan akhir dari suatu hal.

Comments
One Response to “Kenyataan, Batas dan Ambivalensi”
  1. chika says:

    suatu kenyataan yang sangat mengagumkan tapi juga kadang menyakitkan…aq suka banget sama artikel-artikel kamoe itu coz itu dapat membuatq lebih tahu tentang kehidupan di dunia ini

Leave a comment